Senin, 19 November 2012

Janda, Sebuah Status Yang Serba Salah


Janda, sebuah status yang serba salah

Tema : Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentrisme

Dalam masyarakat majemuk apalagi yang memandang bahwa sebuah perkawinan yang normal adalah yang terdiri dari suami-istri lengkap, merupakan anggapan kurang ajeg apabila seorang wanita muda sudah menjanda. Anggapan ini akan ditambah lagi bila si wanita tersebut secara fisik bagus menurut masyarakat tadi. Terlepas karena situasi apa si wanita itu menjanda, kecenderungan masyarakat menempatkan posisi janda sebagai seorang yang konotasinya kurang baik bisa dikatakan hampir selalu ada. Konotasi ini bahkan akan lebih membuat kuping panas, kalau si wanita ini menjanda akibat perceraian.

Suatu pagi sekelompok ibu asyik bercengkrama sambil belanja sayuran dari tukang sayur keliling. Si tukang sayur memberikan info tentang warga baru di kompleks sebelah yang janda muda beranak satu, cantik lagi, begitu tambahnya. Lalu seorang ibu menyambut dengan,”Wah, harus hati-hati nih, nanti para suami ngelirik dia lagi.” Sebuah obrolan kacangan yang ironisnya keluar dari mulut-mulut para wanita yang mestinya berada di sisi si wanita yang janda itu. Mereka yang bisa berkata-kata begitu sepertinya tidak bisa mensyukuri hidupnya yang masih bersuami. Mereka juga seakan-akan buta bahwa keadaan menjanda itu bukanlah hal yang mudah apalagi kalau si wanita harus menafkahi keluarganya.

Anggapan lain yang cukup simpang-siur di masyarakat adalah bahwa seorang janda itu cuma boleh menikah dengan seorang laki-laki yang menduda atau kalau pun masih perjaka, bukan yang masih muda lagi. Hal ini bisa saya katakan begini, karena saya lihat sendiri prakteknya di masyarakat. Contohnya saja, ketika saya masih SMP, seorang tetangga kami di Jakarta berencana menikah dengan seorang wanita yang lebih tua dari dia. Suatu hari, saya mendengar obrolan antar tetangga tentang rencana pernikahannya itu.

“Udah denger ya di Dedi mau nikah sama Rika?”
“Iya ya, kok mau sih? Kan Rika janda, punya anak gadis lagi. Si Dedi kan ganteng gitu, sayang.”

Seakan-akan suatu hal yang sia-sia, kalau seorang laki-laki muda perjaka ting-ting memilih seorang janda yang mungkin 10 tahun seniornya untuk menjadi istrinya. Kalau si istri ini kaya raya, mungkin orang-orang berusaha mengerti. Tapi kalau si wanita ternyata biasa-biasa saja dan memiliki anak (anak) yang sudah remaja atau dewasa, amat disayangkan keputusan laki-laki ini.

Mungkin ini juga yang menyebabkan kawan lama saya bersedih mengahadapi omongan-omongan kurang baik tentang janda. Walaupun janda sebetulnya sudah menjadi bagian dari cerita hidup masyarakat Indonesia, tetap saja meskipun jaman semakin maju, pemikiran orang kadang tidak bisa sejalan. Cerita rakyat seperti Malin Kundang, yang menempatkan keadaan ibunya yang janda yang bersusah-payah membesarkan anaknya dan berusaha menafkahi mereka berdua, layaknya dia adalah janda yang baik. Dia merupakan simbol seorang ibu yang sebaik-baiknya. Coba kita simak cerita tentang janda lainnya dari cerita Tangkuban Perahu. Dia digambarkan sebagai seorang wanita yang cantik yang bisa meluluhkan hati pria mana saja bahkan putranya sendiri jatuh hati padanya. Di sini si wanita digambarkan sebagai seorang penggoda, lain halnya dengan ibu Malin Kundang.

Janda adalah status semata yang sama halnya dengan “menikah”, “tidak menikah”, “duda”, “perjaka”, “perawan” dan kata sandang lainnya yang beredar di masyarakat. Terkadang dalam hidup seseorang harus berhadapan dengan pilihan yang sulit bila masalah akhirnya menyebabkan pernikahannya kandas. Atau ketika kuasa Tuhan bicara lain dari rencana sepasang manusia, dan membuat yang ditinggalkan harus menjalani hidup sendiri. Kalau dalam ajaran agama Islam posisi janda ini diletakkan sedemikian rupa yang harus kita hormati, rasanya tidak adil menempatkan mereka dalam kenegatifan. Dan rasulullah pun beristrikan para janda yang ditinggal suaminya meninggal di medan perang, karena beliau ingin menjaga kehormatan para wanita tersebut dan menjamin masa depan anak-anaknya. Sedangkan dalam mayarakat beberapa dari kita menempatkan seorang janda layaknya obyek tabloid gosip. Rasanya ganjil kalau kita timpang sebelah memberikan cap yang kurang baik pada seorang janda, sedangkan bagi seorang duda, sepertinya hal yang biasa saja.

Ketika kita memutuskan untuk memberikan cap tertentu pada sebuah status, tengoklah kembali siapa diri kita sebenarnya ini. Kenapa kita tidak bisa melihat seseorang karena dia adalah pribadi yang menarik, welas-asih, baik hati atau periang? Kenapa kita tidak bisa mengukur seseorang karena kepandaiannya memasak, merangkai bunga, menata rambut atau kepiawaiannya bermain musik? Apa perlu kita mencampuradukkan status seseorang dengan kemampuannya dalam masyarakat dan memberikan nilai rendah hanya karena dia berbeda? Status, apapun itu, apalagi seorang janda, mestinya membuat kita berpikir keras. Berpikir bagaimana si wanita itu menghidupi keluarganya, kalau dia memiliki anak (anak). Berpikir bagaimana bisa berlaku profesional di kantor, bukannya menyulut gosip-gosip iseng tentang kawan kerja yang seorang janda. Semestinya kita terus belajar dengan berkaca pada orang lain, karena di beberapa hal bisa jadi kita ini lebih beruntung.

Daftar pustaka
http://dianadji.multiply.com/ 
http://www.perempuanindonesia.org

Gedget oh Gedget


Gedget oh Gedget

Tema : Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan

Tidak bisa dipungkiri sekarang ini memang jaman yang super canggih. Semua perangkat-perangkat elektronik dapat dengan mudah dijumpai, mulai dari yang fungsinya hanya sebatas entertainment sampai untuk bisnis misalkan PS Portable, MP3/MP4, IPod, IPhone, Blackberry, hingga PC Tablet yang sekarang sedang booming-boomingnya. Itu semua digunakan semata-mata untuk mendukung kinerja kita baik untuk urusan perkantoran hingga rumah tangga.

Untuk memiliki gadget-gadget tersebut memang membutuhkan uang yang tidak sedikit. Seumpamanya untuk harga PS Portable itu saja kisaran 2 juta, sedangkan untuk PC Tablet kita harus merogoh kocek kira-kira 6 juta. Semakin canggih teknologi maka akan semakin mahal pula biaya yang harus keluarkan.

Sebenarnya dengan lahirnya gadget-gadget itu maka semakin membuka lebar jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Oke, sekarang kita lihat orang yang memiliki gadget-gadget tersebut itu pada umumnya adalah orang yang memiliki tingkat ekonomi golongan menengah ke atas. Sedangkan untuk masyarakat bawah (ekonomi lemah) hanya bisa melihat dan membayangkan tanpa tahu fungsi dan cara penggunaannya dan dampaknya mereka pun tidak mengerti untuk apa sih barang-barang seperti itu ? apa impact secara langsung yang akan mereka dapatkan. Mereka yang tinggal di desa yang masih membajak sawah secara tradisional pasti akan berfikir beribu-ribu kali daripada untuk membeli 1 buah IPad lebih baik membeli 1 ekor anak kerbau untuk membantu membajak sawah.

Maka dari itu, semua pertumbuhan pesat dari teknologi yang ada sekarang ini pasti ada sisi baik dan sisi buruknya dan itupun terjadi tidak hanya di negara berkembang seperti kita ini, di negara maju sekalipun demikian. Dan sebaiknya apa yang harus pemerintah lakukan untuk mempersempit jurang seperti ini ? menurut saya sebagai masyarakat kecil, coba donk disekolah-sekolah yang di desa lebih bisa di tingkatkan lagi tentang pengenalan teknologi yang terupdate sehingga mereka yang sekolah disana tidak buta akan teknologi sekalipun hanya sekedar tahu.

Desa dan Masalah Sosial Perkotaan


Desa dan Masalah Sosial Perkotaan

Tema : Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan

Slamet adalah seorang karyawan sebuah perusahaan yang terletak di salah satu tempat di Jakarta. Ia berasal dari desa. Sebagai seorang perantau, ia bisa dikatakan sudah agak mapan. Ia bisa menyewa sebuah rumah. Pun pula ia bisa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk dikirimkan ke desa. Bahkan, pada waktu banyak karyawan di-PHK karena tuntutan ekonomi pasar, ia masih bisa bernafas lega. Ia tidak terkena PHK. Meskipun demikian, ia sendiri memahami dirinya belum sukses. Cita-citanya untuk hidup berkecukupan, dirasanya belum tercapai.

Slamet “dipaksa” oleh situasi untuk mencari penghidupan di kota. Orang tuanya, yang adalah petani, tidak bisa “membuktikan” pada dirinya, bahwa pertanian menjanjikan perbaikan hidup secara cepat dan nikmat. Memang, rumah orang tuanya yang dahulu berdinding anyaman bambu perlahan-lahan bisa menjadi berdinding tembok. Akan tetapi, itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Ia berpikir, bila ia merantau ke kota, pasti akan lain. Hal itu ia buktikan sesudah di kota beberapa waktu. Ia bisa mengirim ke orang tuanya di desa berbagai perlengkapan rumah tangga, yang baginya amat sulit diadakan jika ia masih menjadi petani di situ.

Itulah sepenggal nukilan fiktif orang desa yang merantau ke kota. Kisah senada, kemungkinan besar teralami oleh para perantau dari desa yang berada di Jakarta (dan kota lainnya), dengan perbedaan di sana-sini. Akan tetapi, upaya untuk memperbaiki hidup (ekonomi) kiranya menjadi benang merah dari kisah-kisah itu.

Slamet (dan para perantau lain) hanyalah korban dari sebuah kepincangan kebijakan pembangunan ekonomi rakyat. Selama ini, pembangunan yang menunjang perekonomian lebih digencarkan di perkotaan. Tak ayal lagi, orang-orang desa menoleh ke kecermelangan kota. Ia juga sebuah korban dari kebijakan yang lebih menitikberatkan pembangunan fisik dari pada mental. Ia juga korban dari pandangan salah bahwa (orang) kota lebih bergengsi dari pada (orang) desa. Ia juga hanyalah korban dari pandangan salah bahwa tani adalah pekerjaan yang kotor. Dan akhirnya, ia hanyalah seorang manusia yang berusaha memaknai hidupnya dengan cara yang menurutnya paling memungkinkan di tengah persaingan hidup yang keras.

Bagaimanapun Slamet adalah kisah sukses orang yang merantau ke kota. Akan tetapi di balik kesuksesannya, ada kisah-kisah menyedihkan. Semua yang berangkat ke Jakarta (kota) merindukan pekerjaan untuk menyambung hidup secara layak. Ternyata Jakarta tidak mampu menjawab kerinduan semua, hanya sebagian saja. Banyak orang (bisa para perantau dan bisa juga penduduk asli), yang entah karena dari SDM-nya kurang, atau karena tak ada relasi personal, atau karena penyebab lain, kalah dalam persaingan untuk memperebutkan pekerjaan terbatas yang ditawarkan Jakarta. Akhirnya dengan terpaksa sekali, mereka menjadi gelandangan, anak jalanan, perampok, pencopet, pemeras, pemalak dan sebagainya yang menjadi pertanda adanya masalah sosial yang serius.

Slamet (pasti) tidak menyadari bahwa kesuksesannya, secara tidak langsung turut memperparah masalah sosial perkotaan. Ia tidak sadar bahwa dirinya telah menghilangkan kesempatan satu penduduk asli untuk mendapatkan pekerjaan. Ia tidak menyadari bahwa tanah pertanian yang ditinggalkannya, bila diupayakan dengan kerja keras dan ulet, mampu memberikan penghidupan yang layak. Ia tidak menyadari bahwa tani adalah pekerjaan yang juga mulia seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya. Ia tidak menyadari bahwa derajad orang desa sama dengan orang kota. Ia tidak menyadari bahwa dirinya bisa sedikit mengurangi masalah sosial perkotaan yang kian memprihatinkan. Ia tidak mampu menyadari itu semua, karena faktor-faktor eksternal telah mengkondisikannya.

Dewasa ini, Slamet-Slamet yang lain ingin menyusul Slamet yang sudah berhasil. Bila proses urbanisasi ini berjalan terus, tidak ayal lagi, masalah sosial perkotaan dan sekaligus juga masalah sosial pedesaan yang telah demikian besar, akan semakin besar dan rumit. Kurbannya tiada lain adalah saudara-saudara kita sendiri, yakni mereka yang tak mampu bersaing. (Tentu, amat disadari bahwa urbanisasi hanyalah salah satu faktor dari banyak faktor yang menumbuhkan masalah sosial).

Pemerintah yang salah satu fungsinya menyejahterakan seluruh rakyat, hendaknya membuat kebijakan pembangunan secara seimbang, misalnya: antara yang fisik dengan yang mental, antara perkotaan dan pedesaan. Tentu saja, dalam situasi sosial sekarang yang sudah terlanjur dipenuhi dengan masalah-masalah sosial yang pelik, keseimbangan pembangunan tersebut bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Pun pula tetap disadari, ada banyak juga masalah lain yang harus ditangani. Akan tetapi, bila perimbangan pembangunan tidak dilakukan, bisa diramalkan situasi sosial yang akan kita (dan anak cucu kita) hadapi di masa mendatang.

Rasanya, semua saja dari kita, –yang bukan unsur pemerintah– tidak bisa cuci tangan dan melemparkan tanggung jawab pada pemerintah begitu saja dalam menyikapi masalah ini. Oleh panggilan manusiawi sebagai makhluk sosial dan kewajiban sebagai warga negara, kita pun hendaknya turut menyikapi masalah sosial secara dewasa dengan cara dan kondisi kita masing-masing. Perlu diingat, mereka yang ada dalam lingkaran masalah-masalah sosial adalah juga saudara-saudara kita.

Daftar pustaka
http://sosbud.kompasiana.com/
http://www.antarafoto.com/

Orang Miskin Dilarang Sakit


Orang Miskin Dilarang Sakit

Tema : Pelapisan Sosial Dan Kesamaan Derajat

Di jaman yang serba mahal ini, banyak sekali keluarga-keluarga yang dinilai masih berada di bawah garis kemiskinan, hal ini dikarenakan penyebaran penduduk dan lapangan pekerjaan yang tidak merata yang mengakibatkan ketidakseimbangan tingkat perekonomian antara suatu daerah dengan daerah yang lainnya, sebagai contoh untuk tingkat ekonomi di pulau jawa sangat jauh dengan tingakat ekonomi di pulau Sulawesi dan Irian Jaya. Akbiat dari tingkat perekonomian yang sangat jauh di bawah, maka berakibat pula ke tingkat kesehatan. Untuk di daerah-daerah yang masih tabu dengan yang namanya Rumah Sakit, mereka lebih memilih untuk berobat ke cara alternatif dikarenakan mereka beranggapan bahwa “untuk makan sehari-hari saja sudah susah apalagi ke rumah sakit yang harus membayar mahal, uang dari mana ?”

Namun pemerintah sudah berupaya sedikit demi sedikit mengurangi tingkat kemiskinan dan bahkan berupaya untuk membantu masyarakat miskin dan tidak mampu mulai dari pendidikan hingga kesehatan.Salah satu upaya pemerintah di bidang kesehatan yaitu membuat program Jamkesmas untuk masyarakat kurang mampu dengan menggratiskan seuluruh biaya pengobatan. Dan pemerintah pun sudah menganggarkan biaya pada APBN untuk kesehatan, hal ini bertujuan untuk membantu masyarakat kurang mampu agar memperoleh hak yang sama yaitu hak untuk mendapatkan kesehatan dan mendapat pelayanan kesehatan yang sama.

Apabila kita lihat dari program pemerintah tersebut memang sangatlah baik, namun hal ini sangat sulit berjalan sesuai dengan rencana. Ternyata masih banyak oknum-oknum khususnya di Rumah Sakit yang seharusnya mengratiskan seluruh pengobatan, namun masih tetap dikenakan biaya ini itu. Terkadang ada “slogan” bahwa “Orang miskin tidak boleh sakit”. Memang lucu terdengarnya, namun itulah yang terjadi. Banyak RS yang sudah ditunjuk pemerintah untuk melayani masyarakat miskin, namun kenyataannya mereka menolak kedatangan orang miskin dan apabila diterima pun mereka akan dikenakan biaya pengobatan. Untuk pelayanan rawat inap pun mereka yang mempunyai Jamkesmas tidak akan memperoleh pelayanan kamar yang sesuai, mereka akan selalu disisihkan dari pasien umum yang membayar full.

Memang inilah yang telah terjadi di masyarakat, dimana selalu terjadi perbedaan dan pemisahaan walaupun itu semua sama-sama fasilitas dari pemerintah yang tujuan awalnya untuk mensejahterakan masyarakat.

Kemudian bagaimana cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang telah terjadi ? menurut saya sebagai masyarakat biasa, sebaiknya pemerintah selalu memantau pelayanan kinerja rumah sakit dan fasilitas lainnya yang telah disediakan pemerintah agar program tersebut dapat berjalan sesuai dengan tujuan awalnya.

Waria


Waria

Tema : Warganegara dan Negara

Sejak dulu, keberadaan waria dalam masyarakat belumlah bisa diterima secara adil. Mereka seringkali menjadi kelompok yang dimarginalkan, terutama karena persoalan orientasi seksual yang dipilihnya. dalam suatu kasus yang terjadi sekarang, terjadi ketidakjelasan antar status jenis kelamin yang dia memiliki. Contohnya dia seorang laki-laki tetap dalam jiwanya dia memiliki jiwa wanita. Selain itu ada kasus yang sebaliknya. Dan ada juga orang memiliki dua jenis kelamin yang tidak jelas apakah status kelaminnya yang sebenarnya. Hal tersebur membuat mereka berbeda dengan yang lainya. Mereka dianggap tidak normal dan berbeda dengan yang lainnya.

Walaupun mereka berbeda dengan pria dan wanita normal tetapi sebagai warga negara mereka memiliki hak dan kewajiban untuk negaranya, terutama Hak Asasi Manusia. Seorang waria memiliki HAM yang sama dengan pria dan wanita normal lainya, walaupun di mata masyarakat dia dianggap tidak jelas dengan status yang dimiliki dan menjadi bahan cemooh serta dapat dikucilkan oleh lingkungan. Padahal mereka pun manusia yang memiliki perasaan dan bisa merasa sakit hati akibat perlakuan- perlakuan tak wajar yang sering mereka terima, sama seperti kita semua.

Sebenarnya tak banyak yang dituntut oleh kaum waria itu. Hanya pengakuan akan keberadaan mereka dan kesetaraan akan segala hal yang berhubungan dengan kemanusiaan. Sebagai contoh adalah susahnya waria untuk mencari pekerjaan yang dapat digunakan sebagai penopang hidup mereka. Padahal tidak semua waria suka bersikap kasar dan bertindak seenaknya, bahkan banyak dari mereka yang memiliki potensi lebih. Bila hal seperti ini terus berlanjut, tak heran banyak waria yang akhirnya terpaksa mencari nafkah dengan mengamen di jalan. Dan ekstrimnya, mereka terpaksa berpenampilan “wah” untuk menarik perhatian masyarakat sehingga masyarakat paham bahwa mereka eksis. Jadi, jangan salahkan waria bila mereka mencari berbagai macam cara, yang terkadang membuat kita merasa tidak nyaman, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Daftar pustaka
http://www.tnol.co.id
http://katakan-pada-dunia.blogspot.com/

Kekerasan Dalam Berpacaran


Kekerasan Dalam Berpacaran

Tema : Pemuda dan Sosialisasi

Disini saya ingin mencoba menceritakan kembali sebuah film durasi 30 menit tentang kekerasan berpacaran…ok, langsung aja.  “Ada seorang mahasiswi bernama melati, dia berasal dari keluarga yang bisa dibilang berkecukupan namun kurang mendapat perhatian dari keluarga dan Kedua orangtuanya. melati merasa amat kesepian bahkan tidak tahu mencurahkan isi hatinya kepada siapa. Karena itulah dia bosan dirumah.

Ketika menginjak semester empat, melati bertemu jaka dan memutuskan berpacaran. Awalnya jaka orang yang baik, suka mendengarkan keluh kesahnya. mereka sangat rukun dan harmonis. Tetapi lama kelamaan jaka mulai menunjukan sifat aslinya. Jaka mudah sekali marah, bahkan sampai melakukan kekerasan fisik. Namun setelah puas meluapkan kemarahannya jaka selalu berubah drastic menyadari kesalahannya dan langsung meminta maaf kepada melati dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Dan ternyata sifat pemarah jaka itu ia dapatkan karena sering melihat ayahnya melakukan tindak kekerasan terhadap ibunya. Awalnya Melati bisa mengerti hal itu tetapi Jaka terus saja melakukan hal yang sama kepada Melati, bahkan Melati tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan teman-teman dan sahabat terdekatnya. Kian hari, tindak kekerasan yang dilakukan Jaka semakin tak terkendali, bahkan tidak jarang Melati diancam akan dibunuh oleh Jaka saat ingin mengakhiri hubungannya dengan Jaka. 

Sampai klimaksnya saat jaka cemburu kepada salah satu teman pria melati dan menuduh melati selingkuh. Padahal melati dan teman prianya hanyalah teman shared curhat saja karena melati tidak tahan dengan perilaku jaka. Akhirnya berkat dukungan teman-temannya melati memberanikan diri untuk berpisah dengan jaka. Dan untuk mengisi kesepiannya melati lebih banyak bergaul dan mengisi waktu luang dengan teman temannya. Awalnya jaka tidak terima namun akhirnya dia mau berpisah”

Dari kisah di atas, Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (Domestic Violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi berpacaran (Kekerasan Dalam Pacaran/KDP) atau Dating Violence). Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar.

Kekerasan dalam Pacaran (KDP) adalah perilakuatau tindakan seseorang dapat disebut sebagai tindak kekerasan dalam percintaan atau pacaran apabila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan oleh pasangannya pada hubungan pacaran. Suatu tindakan dikatakan kekerasan apabila tindakan tersebut sampai melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis, bila yang melukai adalah pacar maka ini bisa digolongkan tindak kekerasan dalam pacaran (KDP).

Sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh perempuan atau remaja putri saja, remaja putra pun ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya. Tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas. Ketidakadilan dalam hal jender selama ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa “pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.


Kisah Keluarga Pemakai Narkoba


Kisah keluarga pemakai narkoba

Tema : Individu, Keluarga dan Masyarakat

Ada seorang penelepon sebut saja namanya A, dia bercerita tentang sepupunya yang pemakai narkoba dalam sebuah stasiun radio yang sedang membicarakan tentang kisah para pemakai narkoba, ok…langsung aja berikut ceritanya :

“Waktu itu penelepon (A) masih kuliah, dia tinggal di rumah tantenya yang punya anak cowok sebut saja (X). Keluarga tante dan omnya bisa dibilang cukup berada, tapi si X sering minta uang sama si A. awalnya A tidak berpikir macam-macam, dan sering ngasih uang karena dipikirnya cuma buat jajan. Sampai suatu hari si X kabur dari rumah. tante dan omnya marah ketika mengetahui kalau A sering memberikan uang ke X, A baru tahu ternyata sepupunya adalah seorang pemakai narkoba, dan uang jajan yang suka A berikan dipakai buat beli narkoba, tapi karena uangnya terbatas (ayah ibunya tahu kalo anaknya pemakai jadi uang jajannya dibatasi), Belakangan diketahui sepupunya ternyata berhutang sama bandar narkoba yang biasa menyuplai drugs ke dia. Merasa mulai diteror sama bandarnya, makanya dia kabur dari rumah karena pihak bandar mengancam akan membunuh kalo dia tidak membayar hutangnya.

Setelah dicari-cari, akhirnya sepupunya ketemu, dan orang tuanya meminta dia untuk kembali ke rumah karena hutang drugs itu akan dibayar oleh ayah-ibunya. A turut menemani omnya waktu ketemu si Bandar untuk membayar hutang narkoba. Dia tidak ingat tempatnya dimana karena hari sudah gelap dan tempatnya masuk ke lorong-lorong yg sempit. Yang pasti mereka didatangi oleh orang-orang suruhan Bandar itu yang penampilannya menyeramkan. Hutang sudah dibayar, teror berhenti dan sepupunya didaftarkan ke suatu pemondokan di daerah jawa untuk rehabilitasi dari kecanduannya.

Setahun kemudian sepupunya kembali dan keadaannya sudah sembuh. Namun itu tak bertahan lama, kecanduannya kambuh lagi, karena ternyata teman-temannya yang dulu (pemakai) mencari-cari dia dan dia tergoda untuk kembali memakai. Akhirnya orangtuanya memindahkannya ke Malaysia, memfasilitasi semua kebutuhannya tapi karena tidak ada yang mendampingi selama dia disana. Setelah sekian bulan, saat orangtuanya mengunjungi dia, mereka baru tahu kalau di Malaysia ternyata anak mereka menjadi bandar narkoba.

Sepupunya ditarik kembali ke Indonesia dan dipindahkan ke Medan, sementara orang tuanya tinggal di Riau (karena ayahnya dipindah kerjakan ke Riau). Sampai suatu hari saat si ayah berniat cuti kerja untuk pergi ke Medan mengunjungi putranya itu, ada kabar yang datang dari Medan yang mengatakan kalau anaknya sakau, lalu naik motor (mungkin untuk mencari penyuplai drugsnya) menabrak tembok dan meninggal di tempat kejadian. Saat itu usianya 16 tahun.”

Dari cerita diatas mungkin sedikit bisa saya simpulkan bahwa narkoba membawa dampak yang sangat besar bagi penderitanya, bisa di bilang menghancurkan hampir seluruh sisi kehidupan penderitanya, tidak hanya ketika menggunakan narkoba saja, setelah sembuh total juga, para mantan pengguna narkoba ini masih harus berhadapan dengan tanggapan negatif masyarakat.

Keluarga menjadi faktor yang sangat penting dalam hal ini. Bagi mereka-mereka yang sedang menjalani rehabilitasi narkoba, peranan keluarga juga sangatlah besar, terkhusus ayah dan ibu. Dukungan dan cinta kasih orang tua yang menyatu bisa menjadi pendorong mental pencadu untuk sembuh dan tidak menggunakan narkoba lagi. Sikap terbuka dan tidak menghakimi bisa menjadi modal utama untuk mendekatkan orang tua dengan anak.

Ada beberapa upaya untuk mencegah supaya anggota keluarga tidak terjerat narkoba, antara lain:

1. Katakan tidak pada narkoba (say no to drugs)
Kita harus mempunyai prinsip hidup menolak pemakaian narkoba. Anti narkoba dengan segala bentuknya. Jangan pernah sekali pun mencoba bagaimana rasanya narkoba. Sebab banyak para pecandu narkoba awalnya hanya ingin mencoba bagaimana rasanya. Setelah tahu, mereka tidak dapat lagi lepas darinya sebab narkoba itu melumpuhkan daya pikir.

2. Memilih lingkungan pergaulan yang baik
Pandai-pandailah memilih lingkungan pergaulan. Ini dibutuhkan kepekaan terhadap masalah-masalah lingkungan. Kalau kita sudah tahu kalau suatu perkumpulan sudah terlibat masalah narkoba, maka jangan pernah sekali-kali mencoba menjadi anggotanya. Segera membelakangi dan meninggalkan mereka tanpa syarat. Kita harus berani mengambil tindakan demi diri sendiri dan keluarga.

3. Mencintai kehidupan
Kalau kita mencintai kehidupan maka pasti kita tidak akan menghancurkannya dengan narkoba. Kita akan menjalani dan merawat kehidupan kita dengan baik. Kita diberikan Tuhan kehidupan baik yang selayaknya kita pergunakan untuk kebaikan bagi masyarakat bukan menjadi sampah masyarakat yang harus disingkirkan. Mendekatkan diri pada Tuhan dengan mengikuti ibadah sesuai dengan kepercayaan kita akan menambah kecintaan kita pada kehidupan.

Daftar pustaka
http://penulismedan.multiply.com/
http://kesehatan.kompasiana.com/
http://library.thinkquest.org/