Tema : Prasangka,
Diskriminasi dan Etnosentrisme
Dalam masyarakat majemuk apalagi
yang memandang bahwa sebuah perkawinan yang normal adalah yang terdiri dari
suami-istri lengkap, merupakan anggapan kurang ajeg apabila seorang wanita muda
sudah menjanda. Anggapan ini akan ditambah lagi bila si wanita tersebut secara
fisik bagus menurut masyarakat tadi. Terlepas karena situasi apa si wanita itu
menjanda, kecenderungan masyarakat menempatkan posisi janda sebagai seorang yang
konotasinya kurang baik bisa dikatakan hampir selalu ada. Konotasi ini bahkan
akan lebih membuat kuping panas, kalau si wanita ini menjanda akibat
perceraian.
Suatu pagi sekelompok ibu asyik
bercengkrama sambil belanja sayuran dari tukang sayur keliling. Si tukang sayur
memberikan info tentang warga baru di kompleks sebelah yang janda muda beranak
satu, cantik lagi, begitu tambahnya. Lalu seorang ibu menyambut dengan,”Wah,
harus hati-hati nih, nanti para suami ngelirik dia lagi.” Sebuah obrolan kacangan
yang ironisnya keluar dari mulut-mulut para wanita yang mestinya berada di sisi
si wanita yang janda itu. Mereka yang bisa berkata-kata begitu sepertinya tidak
bisa mensyukuri hidupnya yang masih bersuami. Mereka juga seakan-akan buta
bahwa keadaan menjanda itu bukanlah hal yang mudah apalagi kalau si wanita
harus menafkahi keluarganya.
Anggapan lain yang cukup
simpang-siur di masyarakat adalah bahwa seorang janda itu cuma boleh menikah
dengan seorang laki-laki yang menduda atau kalau pun masih perjaka, bukan yang
masih muda lagi. Hal ini bisa saya katakan begini, karena saya lihat sendiri
prakteknya di masyarakat. Contohnya saja, ketika saya masih SMP, seorang
tetangga kami di Jakarta berencana menikah dengan seorang wanita yang lebih tua
dari dia. Suatu hari, saya mendengar obrolan antar tetangga tentang rencana
pernikahannya itu.
“Udah denger ya di Dedi mau nikah
sama Rika?”
“Iya ya, kok mau sih? Kan Rika
janda, punya anak gadis lagi. Si Dedi kan ganteng gitu, sayang.”
Seakan-akan suatu hal yang sia-sia,
kalau seorang laki-laki muda perjaka ting-ting memilih seorang janda yang
mungkin 10 tahun seniornya untuk menjadi istrinya. Kalau si istri ini kaya
raya, mungkin orang-orang berusaha mengerti. Tapi kalau si wanita ternyata
biasa-biasa saja dan memiliki anak (anak) yang sudah remaja atau dewasa, amat
disayangkan keputusan laki-laki ini.
Mungkin ini juga yang menyebabkan
kawan lama saya bersedih mengahadapi omongan-omongan kurang baik tentang janda.
Walaupun janda sebetulnya sudah menjadi bagian dari cerita hidup masyarakat
Indonesia, tetap saja meskipun jaman semakin maju, pemikiran orang kadang tidak
bisa sejalan. Cerita rakyat seperti Malin Kundang, yang menempatkan keadaan
ibunya yang janda yang bersusah-payah membesarkan anaknya dan berusaha menafkahi
mereka berdua, layaknya dia adalah janda yang baik. Dia merupakan simbol
seorang ibu yang sebaik-baiknya. Coba kita simak cerita tentang janda lainnya
dari cerita Tangkuban Perahu. Dia digambarkan sebagai seorang wanita yang
cantik yang bisa meluluhkan hati pria mana saja bahkan putranya sendiri jatuh
hati padanya. Di sini si wanita digambarkan sebagai seorang penggoda, lain
halnya dengan ibu Malin Kundang.
Janda adalah status semata yang
sama halnya dengan “menikah”, “tidak menikah”, “duda”, “perjaka”, “perawan” dan
kata sandang lainnya yang beredar di masyarakat. Terkadang dalam hidup
seseorang harus berhadapan dengan pilihan yang sulit bila masalah akhirnya
menyebabkan pernikahannya kandas. Atau ketika kuasa Tuhan bicara lain dari
rencana sepasang manusia, dan membuat yang ditinggalkan harus menjalani hidup
sendiri. Kalau dalam ajaran agama Islam posisi janda ini diletakkan sedemikian
rupa yang harus kita hormati, rasanya tidak adil menempatkan mereka dalam
kenegatifan. Dan rasulullah pun beristrikan para janda yang ditinggal suaminya
meninggal di medan perang, karena beliau ingin menjaga kehormatan para wanita
tersebut dan menjamin masa depan anak-anaknya. Sedangkan dalam mayarakat
beberapa dari kita menempatkan seorang janda layaknya obyek tabloid gosip.
Rasanya ganjil kalau kita timpang sebelah memberikan cap yang kurang baik pada
seorang janda, sedangkan bagi seorang duda, sepertinya hal yang biasa saja.
Ketika kita memutuskan untuk
memberikan cap tertentu pada sebuah status, tengoklah kembali siapa diri kita
sebenarnya ini. Kenapa kita tidak bisa melihat seseorang karena dia adalah
pribadi yang menarik, welas-asih, baik hati atau periang? Kenapa kita tidak
bisa mengukur seseorang karena kepandaiannya memasak, merangkai bunga, menata
rambut atau kepiawaiannya bermain musik? Apa perlu kita mencampuradukkan status
seseorang dengan kemampuannya dalam masyarakat dan memberikan nilai rendah
hanya karena dia berbeda? Status, apapun itu, apalagi seorang janda, mestinya
membuat kita berpikir keras. Berpikir bagaimana si wanita itu menghidupi
keluarganya, kalau dia memiliki anak (anak). Berpikir bagaimana bisa berlaku
profesional di kantor, bukannya menyulut gosip-gosip iseng tentang kawan kerja
yang seorang janda. Semestinya kita terus belajar dengan berkaca pada orang
lain, karena di beberapa hal bisa jadi kita ini lebih beruntung.
Daftar pustaka
http://dianadji.multiply.com/
http://www.perempuanindonesia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar